Selasa, 15 Maret 2011

KETERAMPILAN BERTANYA DALAM PROSES KONSELING

Keterampilan bertanya merupakan salah satu bagian penting dari suatu dialog antara konselor dengan konseli. Pertanyaan yang baik sangat membantu konseli dalam memperoleh pemahaman tentang berbagai hal yang menjadi dan atau terkait dengan topik pembicaraan. Cara-cara mengajukan pertanyaan yang baik membutuhkan keterampilan.
Dalam komunikasi antara konselor dan konseli, konselor dapat membantu konseli untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dengan mengajukan pertanyaan terbuka dan pertanyaan tertutup. Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang memungkinkan konseli memberikan jawaban secara terbuka dan luas. Pertanyaan terbuka dapat membantu konseli menggali dirinya guna memperoleh pemahaman diri yang lebih baik. Melalui penggunaan pertanyaan terbuka, konselor juga mengkomunikasikan minatnya untuk membantu konseli dalam mengeksplorasi diri. Pertanyaan terbuka dapat diungkapkan misalnya dengan ”Apa yang anda pikirkan ketika merenung sendirian?”. Bagaimana perasaan anda ketika dia meninggalkan anda? ”Apa rencana anda selanjutnya”
Pertanyaan tertutup adalah pertanyaan yang biasanya dapat dijawab dengan jawaban ya atau tidak, atau dijawab dengan satu atau dua kata. Beberapa contoh pertanyaan tertutup adalah ”Ketika ibumu meninggal kamu berusia berapa tahun? ”Apakah anda merasa kesal atas perlakuan yang anda terima?” ”Berapa jumlah saudara kadnungmu?”. Pertanyaan tertutup cenderung memutus pembicaraan. Pertanyaan tertutup lebih menekankan pada isi pembicaraan yang faktual dari pada memperhatikan perasaan. Jika konselor menginginkan konseli berbicara banyak tentang berbagai hal, penggunaan pertanyaan tertutup kurang tepat. Meskipun demikian, jika konselor menginginkan konseli memberikan suatu jawaban yang singkat dan jelas, pertanyaan tertutup tepat digunakan. Pertanyaan tertutup sering kali menimbulkan kesan pada konseli bahwa konselor kurang menaruh perhatian kepada konseli.
Sumber:Suwarjo (2009) Praktik Keterampilan Konseling (Bahan PLPG) Yogyakarta: Univeristas Negeri Yogyakarta (UNY)

BK SEKOLAH KONFERHENTIF
Melalui pemahaman dan penguasaan yang mendalam tentang asumsi pokok program BK yang bersifat komprehensif dan penjabaran dalam komponen-komponen program, maka konselor diharapkan dapat menyusun dan mengembangkan rencana aksi layanan BK dengan tujuan dan target terukur serta berdasarkan skala prioritas layanan yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa seorang konselor harus menyadari sepenuhnya bahwa tujuan-tujuan yang akan ditetapkan dalam perencanaan program BK harus menjadi bagian integral dari tujuan pendidikan nasional pada umumnya dan visi/misi yang ada di sekolah secara khusus. Dengan demikian, petugas bimbingan dan konseling mampu dengan tepat menentukan bagaimana cara yang efektif untuk mencapai tujuan beserta sarana-sarana yang diperlukannya.
Bimbingan dan Konseling sebagai Sistem dan Subsistem
Berdasarkan asumsi dasar tentang sifat menyeluruh (komprehensif) program BK, kegiatan BK merupakan suatu rangkaian kegiatan yang saling bertalian, sambung-menyambung, dan setiap bagian memiliki ikatan kesatuan dengan bagian yang lain yang berorientasi pada pencapaian tujuan tertentu. Dengan demikian, kegiatan BK dapat dianggap sebagai subsistem dalam sistem pendidikan yang menjadi induknya. Rangkaian kegiatan BK pada akhirnya memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan rangkaian kegiatan sekolah lainnya.
Sementarai itu, BK sebagai suatu sistem memiliki tiga aspek utama (Gunawan, 2001), yakni:
1. Tujuan yang hendak dicapai sebagai aspek utama yang harus ditentukan terlebih dahulu. Penetapan tujuan akan memudahkan konselor menentukan strategi yang akan dikembangkan dalam rangka mencapai tujuan yang dimaksud
2. Kegiatan pokok yang menunjang langsung tercapainya tujuan. Bagian-bagian pokok dari suatu sistem dan strategi yang dikembangkan biasanya disebut sebagai penjabaran aktivitas dari suatu strategi yang di dalamnya terdapat aktivitas utama yang hendak dilakukan. Dengan kata lain, tercapainya tujuan hanya mungkin terjadi melalui implementasi kegiatan-kegiatan yang dimaksud. Kegiatan-kegiatan yang dikembangkan sebaiknya dirumuskan secara tepat sasaran dan dengan dampak yang terukur
3. Implementasi kegiatan (proses) atau berfungsinya isi dari suatu strategi yang mengarah pada pencapaian tujuan. Kegiatan-kegiatan yang telah ditetapkan semaksimal mungkin harus diusahakan dapat terlaksana sebaik mungkin.
Ketiga aspek dari program BK sebagai sistem tersebut saling berkaitan dan satu kesatuan organis yang berproses menuju tujuan layanan ataupun program yang hendak dicapai. Dalam rangka itu, modul materi ini bermuara pada fasilitasi keterampilan praktis bagi konselor tentang prosedur penyusunan program BK yang memperhatikan berbagai asumsi dasar dan komponen layanan yang telah dijelaskan sebelumnya.
Sistematika Penyusunan dan Pengembangan Program BK
Sistematika penyusunan dan pengembangan program BK Sekolah yang komprehensif pada dasarnya terdiri dari dua langkah besar, yaitu: a) pemetaan kebutuhan, masalah, dan konteks layanan; dan b) desain program yang sesuai dengan kebutuhan, masalah, dan konteks layanan. Adapun penjabaran dari tiap-tiap langkah besar sebagai berikut:
1. Desain Program BK dan Rencana Aksi (Action Plan)
Berikut ini adalah penjabaran rencana operasional (action plan) yang diperlukan Action plan yang akan disusun paling tidak memenuhi unsur 5W+1H (what, why, where, who, when, and how). Dengan demikian, konselor dan petugas bimbingan perlu melakukan hal-hal berikut ini:
1. Identifikasikan dan rumuskan berbagai kegiatan yang harus/perlu dilakukan. Kegiatan ini diturunkan dari perilaku/tugas perkembangan/kompetensi yang harus dikuasai peserta didik.,
2. Pertimbangkan porsi waktu yang diperlukan untuk melaksanakan setiap kegiatan di atas. Apakah kegiatan itu dilakukan dalam waktu tertentu atau terus menerus. Berapa banyak waktu yang diperlukan untuk melaksanakan pelayanan bimbingan dan konseling dalam setiap komponen program perlu dirancang dengan cermat. Perencanaan waktu ini didasarkan kepada isi program dan dukungan manajemen yang harus dilakukan oleh konselor. Berikut dikemukakan tabel alokasi waktu, sekedar perkiraan atau pedoman relatif dalam pengalokasian waktu untuk konselor dalam pelaksanaan komponen pelayanan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah.,
3. Inventarisasi kebutuhan yang diperoleh dari needs assessment ke dalam tabel kebutuhan yang akan menjadi rencana kegiatan. Rencana kegiatan dimaksud dituangkan ke dalam rancangan jadwal kegiatan untuk selama satu tahun. Rancangan ini bisa dalam bentuk matrik; Program Tahunan dan Program semester.,
4. Program bimbingan dan konseling Sekolah/Madrasah yang telah dituangkan ke dalam rencana kegiatan perlu dijadwalkan ke dalam bentuk kalender kegiatan. Kalender kegiatan mencakup kalender tahunan, semesteran, bulanan, dan mingguan.,
5. Program bimbingan dan konseling perlu dilaksanakan dalam bentuk
(a) kontak langsung,
(b) tanpa kontak langsung dengan peserta didik.
Untuk kegiatan kontak langsung yang dilakukan secara klasikal di kelas (pelayanan dasar) perlu dialokasikan waktu terjadwal 2 (dua) jam pelajaran per-kelas per-minggu. Adapun kegiatan bimbingan tanpa kontak langsung dengan peserta didik dapat dilaksanakan melalui tulisan (seperti e-mail, buku-buku, brosur, atau majalah dinding), kunjungan rumah (home visit), konferensi kasus (case conference), dan alih tangan (referral).

2. Pemetaan Kebutuhan, Masalah, dan Konteks Layanan
Penyusunan program BK di sekolah haruslah dimulai dari kegiatan asesmen (pengukuran, penilaian) atau kegiatan mengidentifikasi aspek-aspek yang dijadikan bahan masukan bagi penyusunan program/layanan (Depdiknas, 2007). Kegiatan asesmen ini meliputi (1) asesmen konteks lingkungan program yang terkait dengan kegiatan mengidentifikasi harapan dan tujuan sekolah, orangtua, masyarakat, dan stakeholder pendidikan terlibat, sarana dan prasarana pendukung program bimbingan, kondisi dan kualifikasi konselor, serta kebijakan pimpinan sekolah; (2) asesmen kebutuhan dan masalah peserta didik yang menyangkut karakteristik peserta didik; seperti aspek fisik (kesehatan dan keberfungsiannya), kecerdasan, motivasi, sikap dan kebiasaan belajar, minat, masalah-masalah yang dihadapi, kepribadian, tugas perkembangan psikologis.
Melalui pemetaan ini diharapkan program dan layanan BK yang dikembangkan oleh konselor benar-benar dibutuhkan oleh seluruh segmen yang terlibat dan sesuai dengan konteks lingkungan program. Dengan kata lain, program dan kegiatan yang tertuang dalam rencana per semester ataupun tahunan bukan sekedar tuntutan administratif, melainkan tuntutan tanggung jawab yang sungguh harus dilaksanakan secara professional. Berikut langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh konselor dalam memetakan kebutuhan, masalah, dan konteks layanan:
1. Menyusun instrumen dan unit analisis penilaian kebutuhan. Eksplorasi peta kebutuhan, masalah, dan konteks membutuhkan instrument asesmen yang berfungsi sebagai alat bantu. Dalam instrumen ini, konselor merumuskan aspek dan indicator beserta item pernyataan/pertanyaan yang akan diukur dan jenis metode yang akan digunakan untuk mengungkap aspek dimaksud. Metode yang dapat digunakan, seperti observasi, wawancara, dokumentasi, dan sebagainya.,
2. Implementasi penilaian kebutuhan. Pada tahap ini, konselor sesegera mungkin mengumpulkan data dengan menggunakan instrument yang telah dibuat sebelumnya dengan tujuan memperoleh gambaran kebutuhan dan konteks lingkungan yang akan dirumuskan ke dalam program lebih lanjut.,
3. Analisis hasil penilaian kebutuhan. Setelah data terkumpul, konselor mengolah, menganalisis, dan menginterpretasi hasil penilaian yang diungkap dengan tujuan kebutuhan, masalah, dan konteks program dapat teridentifikasi dengan tepat.,
4. Pemetaan kebutuhan/permasalahan. Setelah hasil analisis dan identifikasi masalah terungkap, petugas BK dan konselor membuat peta kebutuhan/masalah yang dilengkapi dengan analisis faktor-faktor penyebab yang memunculkan kebutuhan/permasalahan
Sumber: Fathur Rahman (2009) Penyusunan Program BK di Sekolah (Bahan PLPG) Yogyakarta: Univeristas Negeri Yogyakarta (UNY)
KETERAMPILAN ETENDING
Tingkah laku attending sangat berkaitan dengan rasa hormat konselor terhadap konseli yang harus ditampakkan ketika perhatian secara penuh diberikan kepada konseli. Tingkah laku attending sangat penting dalam semua komunikasi positif antar individu. Ketrampilan ini dapat dipelajari dan harus ditempakkan olehh konselor dalam proses pelayanan-pelayanan yang diberikan. Melalui berbagai contoh dan praktik yang cukup, setahap demi setahap ketrampilan ini dapat dikuasai oleh konselor.
Attending adalah pemberian perhatian fisik kepada orang lain. Attending juga berarti mendengarkan dengan menggunakan seluruh tubuh kita. Attending merupakan komunikasi nonverbal yang menunjukkan bahwa konselor memberikan perhatian secara utuh terhadap lawan bicara yang sedang berbicara. Ketrampilan attending meliputi; keterlibatan tubuh, gerakan tubuh secara tepat, kontak mata, dan lingkungan yang nyaman.
1. Keterlibatan Postur Tubuh
Bahasa tubuh sering kali berbicara lebih keras dari pada bahasa verbal. Suatu komunikasi menjadi lebih kuat jika konselor menampilkan sikap tubuh yang rileks tetapi penuh perhatian dan siap siaga mendengarkan pembicaraan konseli, agak condong kedepan menghadap konseli denan tetap menjaga situasi dan posisi diri yang terbuka dalam jarak yang tepat dari konseli. Seorang pendengar yang baik mengkomunikasikan perhatiannya melalui ekspresi tubuh yang rileks selama pembicaraan berlangsung.
Ekspresi rileks mengandung pesan bahwa Saya merasa nyaman bersamamu dan saya menerima anda. Sedangkan kesiap-siagaan perhatian yang ditunjukkan melalu ekspresi tubuh menunjukkan bahwa Saya merasa apa yang anda ceritakan adalah penting dan saya sungguh memahami anda. Perpaduan antara kedua pesan tubuh tersebut menghasilkan aktivitas mendengarkan yang efektif
Posisi tubuh konselor yang sedikit condong ke depan ke arah konseli, mengkomunikasikan pesan bahwa konselor memberikan perhatian yang lebih besar. Sebaliknya posisi tubuh yang condong ke belakang bersandar pada kursi dipandang kurang memberikan perhatian kepada konseli. Pandangan dengan muka lurus menghadap kearah konseli akan membantu konselor mengkomunikasikan bahwa konselor melibatkan diri secara penuh dalam pembicaraan konseli.
Hal pentinglain yang perlu diperhatikan adalah menjaga posisi tubuh tetap terbuka dengan tidak menyilangkan kaki dan atau menyilangkan tangan. Kaki yang disilangkan, atau tangan yang bersidekap (menyilang rapat kedua tangan) dapat menggambarkan ketertutupan atau sikap bertahan. Jarak antara konselor dengan konseli juga perlu diperhatikan. Jarak yang terlalu dekat atau terlalu jauh akan mengganggu komunikasi karena konseli merasa kurang nyaman. Meskipun demikian jarak yang paling nyaman antara konselor dan konseli sangat tergantung dari budaya masing-masing. Oleh karena Itu konselor seyogyanya mencermati dan peka terhadap ekspresi atau sinyal yang ditunjukkan oleh konseli terkait dengan jarak yang diambil oleh konselor dan konseli. Pada umumnya jarak 90 – 100 cm adalah jarak yang nyaman bagi kebanyakan masyarakat.
2. Gerak tubuh secara tepat
Gerak tubuh yang tepat merupakan bagian utama dari aktivitas mendengarkan dengan baik. Seorang konselor yang sedang mendengarkan konselinya tetapi tanpa diikuti dengan gerakan tubuh akan tampak kaku, dingin, dan terasa adanya jarak yang jauh.Sebaliknya konselor yang menyertakan gerakan-gerakan aktif saat mendengarkan konseli (bukan gerakan gelisah atau gerakan grogi), akan dimaknai sebagai konselor yang bersahabat, dan hangat. Pada umumnya orang lebih suka berbicara dengan pendengar yang gerakan tubuhnya tidak kaku dan tidak terpaku. Meskipun demikian, hindari gerakan-gerakan tubuh dan mimik wajah yang merusak. Konselor yang baik menggerakkan tubuhnya dalam merespon klien yang sedang berbicara kepadanya.
Sebaliknya konselor yang tidak efektif, melakukan gerakan-gerakan untuk merespon, hal-hal yang tidak terkait dengan pembicaraan konseli, misalnya memainkan pensil dan gelisah, mengetuk-ngetukkan jari, mematah-matahkan (menggeretakkan) tulang jari-jemari secara terus menerus duduk beringsut, secara terus menerus memindah-mindahkan kaki menyilang, duduk dengan satu kaki diangkat dan ditumpangkan pada kaki lainnya sambil digerak-gerakkan.
Ketika seseorang sedang berbicara kepadanya, konselor juga tidak boleh melakukan hal-hal yang dapat merusak suasana seperti, menonton televisi, menggelengkan atau menganggukkan kepala kepada orang lain yang lewat, mengerjakan aktivitas lain seperti membaca koran dan menyiapkan makanan atau minuman

3. Kontak Mata
Kontak mata yang efektif mengekpresikan minat dan keinginan untuk mendengarkan orang lain. Kontak mata mencakup pemusatan pandangan mata secara lembut pada pembicaraan dan kadang-kadang menindahkan pandangan dari wajah konseli ke bagian tubuh lainnya misalnya tangan, dan kemudian kembali ke wajah lalu kontak mata terjadi lagi. Kontak mata tidak terjadi jika konselor memandang jauh membuang pandangan dari konseli, memandang wajah konseli dengan pandangan kosong, dan konselor menghindari tatapan mata konseli.
Kontak mata memungkinkan konseli menyadari penerimaan konselor terhadap diri konseli beserta pesan-pesan dan keluhan-keluhan yang disampaikan konseli. Kontak mata membantu konseli untuk menggambarkan betapa amannya dia bersama dengan konselor. Demikian pula konselor, melalui kontak mata konselor dapat menangkap makna yang lebih mendalam dari berbagai hal yang disampaikan konseli kepadanya. Kontak mata bisa diibaratkan sebagai jendela untuk melihat pengalaman dan dunia pribadi yang mendalam dari kjonseli.
Kemampuan utnuk memiliki kontak mata yang baik merupakan bagian penting dan pokok dari komunikasi antar individu. Kontak mata merupakan salah satu ketrampilan mendengarkan yang efektif. Kontak mata yang buruk mungkin menjadi pertanda dari sebuah ketidak-acuhan atau ketidak tertarikan.
4. Lingkungan yang nyaman
Attending menuntut pemberian perhatian kepada orang lain. Hal ini tidak mungkin terjadi dalam lingkungan yang bising, hiruk pikuk, dan kacau. Radio, televisi dan sejenisnya bisa menjadi penganggu, oleh karena itu perlu dimatikan demikian juga dering telepon.
Suwarjo (2009) Praktik Keterampilan Konseling (Bahan PLPG) Yogyakarta: Univeristas Negeri Yogyakarta (UNY)
FASE-FASE DALAM KONSELING
Dalam proses konseling kadang-kadang teman-teman guru pembimbing banyak melupakan beberapa fase yang dalam kontek konsep teori mengingat dalam prakteknya banyak perubahan-perubahan dalam alam perasaan, pikiran dan perilaku terjadi dalam fase-fase dalam proses konseling dimana ada 5 fase konseling yang perlu dipahami teman-teman guru pembimbing
a. Pembukaan
Pada fase ini konselor membangun hubungan antar pribadi yang memungkinkan pembicaraan terbuka dan terarah dalam wawancara konseling. Meskipun konselii datang menghadap konselor atas inisiatifnya sendiri, konselor tetap harus membangun hubungan antar pribadi agar konseli mau membuka dirinya mau mengungkapkan beban-beban pikiran dan perasaannya
b. Penjelasan Masalah
Konseli mengemukakan hal-hal yang membebani dirinya mungkin berupa perasaan atau pikiran. Pada umumnya konseli mengatakan bahwa dia memiliki masalah. Namun, bagi konselor apa yang diungkapkan oleh konseli sebagai masalah belum lah dapat dipandang sebagai inti masalah melainkan baru lah sebagai suatu gejala masalah. Dengan menggunakan teknik verbal seperti seperti penerimaan, refleksi pikiran, refleksi perasaan, klarifikasi pikiran, klarifikasi perasaan, konselor membantu konseli untuk lebih menyadari pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang sedang menjadi beban hidupnya.
c. Penggalian latar belakang masalah ( analisis masalah atau analisis kasus)
Oleh karena konseli paa fase penjelasan masalah belum menyajikan gambaranl engkap mengenai kedudukan masalahnya, maka diperlukan penjelasan lebih mendalam dan mendetail. Untuk mendapatkan data konseli secara mendalam dan mendetail, maka penggalian data perlu menggunakan sistematika tertentu. Sistematika ini berkaitan dengan pendekatan konseling yang lebih berorientasi pada kognitif, afektif dan behavioristik.
d. Penyelasaian Masalah
Berdasarkan apa yang telah digali dalam fase penggalian data, konselor dan konseli membahas bagaimana persoalan dapar diatasi. Konselor menerapkan sistematika penyelesaian masalah yang khas bagi masing-masing pendekatan konseling. Dengan kata lain bila konselor menggunakan pendekatan; Rational Emotive Therapy (berorientasi kognitif) atau Trait-Factor Counseling (berorientasi kognitif) atau konseling behavioristik (berorientasi behavioristik) pada fase analisis kasus, maka dia harus menerapkan langkah-langkah yang diakui oleh pendekatan itu dalam meemukan penyelesaian masalah
e. Penutup
Bila mana konseli telah mantap dengan keputusannya, maka proses konseling dapat diakhiri. Namun pada prinsipnya di setiap akhir pertemuan konseling, konselor melakukan fase penutup. Ada dua macam bentuk fase penutup. yaitu 1) Bila proses konseling telah selesai, ditandai dengan pembuatan keputusan oleh konseli, konselor atau konseli sendiri dapat membuat ringkasan tentang jalannya proses konseling dan menegaskan kembali keputusan yang telah diambil. Kemudian, konselor memberi semangat pada konseli agar bertekad melaksanakan keputusannya (bombongan). Konselor menawarkan bantuan kepada konseli bila dikemudian hari konseli memerlukan bantuannya. Akhirnya, konselor berpisah dengan konseli, 2) Bila proses konseling belum selesai, mungkin satu pertemuan bahkan beberapa pertemuan, konselor memberikan ringkasan tentang apa yang telah dibicarakan samapai sekarang. Kemudian, ditetapkan apa yang harus dilaukan oleh konseli selama jangka waktu sebelum konseli bertemua kembali dengan konselor, artinya ditentukan kapan mereka akan meneruskan pembicaraan.

0 komentar:

Posting Komentar